Mulai 2026, Produk Konsumsi Tanpa Sertifikat Halal Akan Dinyatakan Ilegal

Produk konsumsi halalProduk konsumsi halal

INBERITA.COM, Mulai Oktober 2026, seluruh produk yang berkaitan dengan makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, hingga produk kimia dan biologi wajib memiliki sertifikat halal.

Jika tidak, produk-produk tersebut akan dikategorikan sebagai barang ilegal. Penegasan ini disampaikan langsung oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan, yang akrab disapa Babe Haikal.

“Tahun depan kan wajib halal. Kalau tidak halal, ya ilegal, sesederhana itu. Dalam rangka mengerti soal halal, karena UU Nomor 33 Tahun 2014 mengamanahkan semua makanan, minuman, termasuk di dalamnya obat, kosmetik, dan lain sebagainya wajib memiliki sertifikat halal,” ujar Babe Haikal di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Ketentuan ini mencakup barang dan/atau jasa yang bersinggungan langsung dengan konsumsi masyarakat, termasuk produk hasil rekayasa genetik serta barang gunaan lain yang dipakai atau dimanfaatkan publik.

Pemerintah menilai, kewajiban ini bukan hanya bentuk pemenuhan regulasi keagamaan, melainkan langkah strategis untuk menjamin kualitas dan keamanan produk yang beredar di pasar.

Selain kewajiban sertifikasi halal, produk yang mengandung unsur nonhalal juga diwajibkan mencantumkan informasi secara jelas pada kemasannya.

Hal ini termasuk produk yang mengandung babi atau turunannya, yang secara otomatis tidak bisa memperoleh sertifikat halal.

“Kalau tidak ada label halalnya, tidak ada logo mengandung babi, berarti ilegal. Itu akan kita berikan surat peringatan, sampai ujungnya pencabutan. Jadi, tidak main-main,” tegas Babe Haikal, menekankan keseriusan pemerintah dalam mengawasi penerapan kebijakan ini.

Bentuk penegakan hukum yang akan diterapkan mencakup surat peringatan tertulis, teguran resmi, hingga pencabutan izin usaha.

Langkah ini diambil untuk memastikan seluruh pelaku usaha, baik skala besar maupun UMKM, memahami pentingnya sertifikasi halal sebagai bagian dari perlindungan konsumen.

Pernyataan BPJPH ini sekaligus menjadi peringatan dini bagi seluruh pelaku usaha yang produknya masuk dalam kategori wajib halal agar segera mengurus proses sertifikasi sebelum tenggat waktu yang ditetapkan.

Pemerintah tidak akan mentolerir produk-produk yang tidak mematuhi ketentuan ini, terutama jika tidak memberikan informasi yang transparan kepada konsumen.

Lebih lanjut, Babe Haikal menjelaskan bahwa sertifikasi halal saat ini sudah menjadi standar global yang diterima luas, tidak hanya di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

Sertifikat halal dinilai mampu menunjukkan kualitas, kebersihan, keamanan, serta nilai tambah sebuah produk di pasar internasional.

“Lagi pula halal ini bukan lagi domainnya Islam atau bukan Islam. Ini bukan semata-mata persoalan agama. Halal itu simbol kualitas makanan atau produk, yang saat ini telah menjadi standar global,” ujarnya.

Babe Haikal juga menekankan bahwa kesadaran masyarakat terhadap produk halal semakin meningkat, seiring dengan kebutuhan akan konsumsi yang aman, sehat, dan berkualitas.

Oleh karena itu, kewajiban sertifikasi halal diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat daya saing produk lokal, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi konsumen.

Kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang secara tegas mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Masa transisi yang diberikan sejak undang-undang tersebut disahkan akan berakhir pada 17 Oktober 2026, menjadikan tahun depan sebagai batas akhir kepatuhan bagi seluruh pelaku industri.

Dengan penetapan status ilegal terhadap produk yang tidak bersertifikat halal, pemerintah berharap semua pelaku usaha dapat lebih proaktif dalam menyiapkan diri.

BPJPH pun akan terus mendorong proses sosialisasi dan pendampingan agar pelaksanaan kebijakan ini berjalan optimal.

Penerapan kewajiban sertifikat halal secara menyeluruh ini diprediksi akan mengubah peta persaingan di pasar domestik, terutama bagi pelaku usaha yang selama ini belum memprioritaskan aspek legalitas dan sertifikasi dalam pengembangan produknya.

Di sisi lain, konsumen pun diuntungkan dengan adanya jaminan produk yang lebih berkualitas, aman, dan sesuai dengan prinsip yang mereka anut.

Dengan kebijakan ini, Indonesia semakin menunjukkan keseriusannya dalam membangun ekosistem industri halal yang kuat, transparan, dan berdaya saing tinggi, baik di pasar lokal maupun global. (mms)