INBERITA.COM, Tagar #BoikotTrans7 mendadak memuncaki perbincangan di media sosial X (sebelumnya Twitter) sejak Senin malam hingga Selasa pagi, 14 Oktober 2025.
Gelombang kritik tajam dari warganet muncul usai salah satu program televisi milik Trans7 dinilai telah menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh di Indonesia.
Pantauan terakhir menunjukkan bahwa tagar tersebut telah dicuitkan hampir 5.000 kali oleh pengguna media sosial, menandakan tingginya respons publik terhadap isu ini.
Kemarahan netizen dipicu oleh tayangan program “Xpose Uncensored” pada 13 Oktober 2025, yang dinilai menampilkan penggambaran tidak pantas terhadap Pondok Pesantren Lirboyo, baik secara verbal maupun visual.
Reaksi keras pun datang dari berbagai kalangan, terutama dari keluarga besar pesantren, para santri, alumni, hingga masyarakat umum, khususnya warga Kediri dan komunitas Nahdliyin yang memiliki ikatan erat dengan pesantren tersebut.
Tayangan yang dipersoalkan dianggap telah melukai nilai-nilai pesantren serta mencoreng citra lembaga pendidikan Islam yang telah berdiri sejak 1910 tersebut.
Dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tertua dan paling dihormati di Indonesia, Lirboyo tidak hanya mencetak ribuan santri setiap tahun, tetapi juga menjadi tempat belajar para calon ulama dari berbagai daerah.
Maka tak heran jika masyarakat luas bereaksi keras ketika pesantren tersebut disebut dalam konteks yang dinilai tidak pantas di media nasional.
Menanggapi tekanan dari publik, Trans7 akhirnya merilis klarifikasi dan permintaan maaf resmi. Dalam pernyataan tertulis yang diterbitkan pada Selasa pagi, pihak Trans7 mengakui adanya kelalaian dalam proses produksi tayangan program tersebut.
“Sehubungan dengan tayangan/pemberitaan mengenai Pondok Pesantren Lirboyo yang telah ditayangkan di program Xpose Uncensored Trans7, pada tanggal 13 Oktober 2025, kami telah melakukan review dan tindakan-tindakan atas keteledoran yang kurang teliti sehingga merugikan Keluarga Besar PP. Lirboyo,” tulis Trans7 dalam keterangan resmi mereka.
Pernyataan tersebut dilanjutkan dengan permohonan maaf terbuka kepada para pengasuh, santri, alumni, dan masyarakat luas, khususnya yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiaat.
Pihak stasiun televisi tersebut juga menyatakan telah menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada Gus Adib, salah satu putra KH. Anwar Mansyur, yang merupakan tokoh penting di lingkungan pesantren.
Trans7 berkomitmen untuk mengirimkan surat permintaan maaf resmi kepada pihak pengasuh pesantren sebagai bentuk itikad baik dan tanggung jawab atas kesalahan yang terjadi.
Langkah ini diambil untuk meredam kemarahan publik serta memperbaiki hubungan dengan komunitas pesantren dan masyarakat Nahdlatul Ulama secara umum.
Namun, di tengah permintaan maaf tersebut, gelombang aksi boikot tampaknya belum sepenuhnya surut. Sejumlah pengguna media sosial tetap mendesak agar Trans7 mengambil langkah nyata dalam mengevaluasi konten program-program mereka agar lebih sensitif terhadap nilai-nilai budaya, agama, dan institusi pendidikan.
Bagi sebagian pihak, insiden ini menjadi pengingat penting bagi industri penyiaran agar lebih berhati-hati dalam mengangkat topik-topik yang berkaitan dengan simbol keagamaan dan institusi masyarakat.
Isu ini juga menyoroti pentingnya etika jurnalistik dan tanggung jawab media dalam menjaga kehormatan lembaga pendidikan, apalagi yang telah berakar kuat dalam sejarah bangsa.
Bagi kalangan Nahdliyin, Pesantren Lirboyo bukan hanya tempat belajar, tapi juga simbol perjuangan dan penjaga tradisi keislaman yang moderat di Indonesia.
Gelombang protes yang terjadi di media sosial menunjukkan betapa kuatnya keterikatan emosional publik terhadap pesantren sebagai institusi yang dihormati.
Dalam konteks ini, kesalahan tayangan bukan hanya dinilai sebagai kelalaian teknis, tetapi juga sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap nilai yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebagai institusi media yang menjangkau jutaan pemirsa, Trans7 kini berada dalam sorotan tajam. Bagaimana langkah korektif dan evaluasi internal yang mereka ambil pasca insiden ini akan menjadi penentu apakah kepercayaan publik dapat dipulihkan.
Di sisi lain, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi media massa di era digital yang bergerak sangat cepat.
Di tengah derasnya arus informasi dan opini publik di media sosial, kesalahan sekecil apa pun bisa berdampak luas, terlebih jika menyentuh isu-isu sensitif yang melibatkan identitas budaya dan agama.
Dengan permintaan maaf yang telah disampaikan, publik kini menunggu langkah nyata berikutnya dari Trans7. Apakah akan ada perbaikan sistem editorial, pelatihan sensitif budaya bagi kru produksi, atau bahkan evaluasi terhadap program yang bersangkutan.
Sementara itu, tagar #BoikotTrans7 masih terus bergema sebagai bentuk kritik sekaligus pengingat akan pentingnya kehati-hatian dalam menyajikan informasi di ruang publik. (xpr)