INBERITA.COM, Perwakilan kelompok Hamas menegaskan tidak akan menghadiri upacara penandatanganan perjanjian damai yang dimediasi Amerika Serikat (AS) di Mesir pada Senin, 13 Oktober 2025.
Hal ini disampaikan langsung oleh juru bicara Hamas, Husam Badran, kepada media. Ia juga menyuarakan kekhawatiran serius terkait beberapa poin dalam rencana perdamaian yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump.
“Hamas tidak akan terlibat dalam proses penandatanganan. Hanya mediator dan pejabat Amerika dan Israel yang akan hadir,” ujar Badran sebagaimana dikutip Al-Arabiya pada Minggu.
Pernyataan tersebut mencerminkan sikap keberatan Hamas terhadap sejumlah aspek penting dalam kerangka perjanjian damai yang disusun.
Badran menegaskan bahwa implementasi fase kedua dari kesepakatan tersebut dipenuhi oleh “banyak kerumitan dan kesulitan.”
Ia juga mengkritik keras wacana yang menyebutkan pengusiran warga Palestina dari tanah mereka, termasuk anggota Hamas.
“Pembicaraan tentang pengusiran warga Palestina, baik anggota Hamas maupun bukan, dari tanah mereka adalah absurd dan omong kosong,” katanya.
Penolakan Hamas muncul di tengah proses diplomasi intensif menyusul berakhirnya konflik bersenjata antara Israel dan kelompok tersebut yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Konflik selama dua tahun itu telah menyebabkan kehancuran besar di Jalur Gaza dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang parah.
Menurut pejabat setempat, lebih dari 67.000 warga Palestina telah kehilangan nyawa akibat kampanye militer Israel.
Situasi di Gaza yang semakin memburuk juga memicu tuduhan keras dari dunia internasional.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menuduh Israel melakukan tindakan genosida terhadap warga sipil di wilayah tersebut.
Di sisi lain, pihak Israel juga mengambil langkah serupa dengan menolak menghadiri penandatanganan kesepakatan tersebut.
“Tidak ada pejabat Israel yang akan menghadiri” acara KTT perdamaian di Mesir, ujar juru bicara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Shosh Bedrosian, sebagaimana dikutip kantor berita AFP pada hari yang sama.
Rencana damai yang dipaparkan oleh Presiden Donald Trump pada akhir September lalu mencakup sejumlah poin penting, termasuk pertukaran tahanan dan penarikan militer.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Hamas diwajibkan membebaskan 48 sandera Israel yang masih ditahan di Gaza, termasuk yang telah meninggal.
Sebagai imbal balik, Israel akan membebaskan 250 warga Palestina yang tengah menjalani hukuman penjara seumur hidup, serta 1.700 tahanan asal Gaza yang ditangkap sejak 2023.
Langkah signifikan lainnya dalam perjanjian itu adalah penarikan pasukan Israel dari beberapa wilayah Gaza yang akan dilaksanakan secara bertahap.
Bahkan pada Jumat pekan lalu, militer Israel telah mengonfirmasi bahwa unit-unitnya mulai mundur dari beberapa posisi di wilayah tersebut.
Selain pertukaran tahanan dan penarikan militer, perjanjian damai ini juga mencakup pembentukan pemerintahan transisi internasional di Gaza.
Dalam kerangka gencatan senjata 20 poin tersebut, Hamas diminta untuk melucuti senjata dan dikeluarkan dari pemerintahan wilayah itu.
Hal ini menjadi salah satu poin krusial yang ditolak oleh Hamas, mengingat posisi mereka sebagai kekuatan politik dan militer utama di Jalur Gaza.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum memberikan konfirmasi langsung mengenai kehadirannya dalam proses penandatanganan, namun sebelumnya telah menyatakan bahwa Israel akan melanjutkan operasi militernya jika Hamas menolak untuk melucuti senjata.
Bahkan, beberapa anggota koalisi pemerintahan Israel secara terbuka menolak adanya konsesi terhadap Hamas.
Gencatan senjata yang tengah berlangsung saat ini sebelumnya sempat dihentikan secara sepihak oleh Israel pada Maret lalu.
Namun, dengan semakin kuatnya tekanan internasional dan kondisi kemanusiaan di Gaza yang terus memburuk, Amerika Serikat kembali menginisiasi rencana perdamaian guna meredakan ketegangan kedua belah pihak.
Rencana ini tetap menuai pro dan kontra. Meskipun dianggap sebagai langkah penting menuju stabilitas kawasan, namun keberatan dari pihak-pihak yang berkepentingan menandakan bahwa implementasi di lapangan tidak akan berjalan mudah.
Sejumlah pengamat menilai bahwa tanpa partisipasi langsung dari Hamas dan Israel dalam penandatanganan kesepakatan ini, proses perdamaian berisiko gagal sebelum benar-benar dimulai.
Ketidakhadiran kedua pihak utama dalam forum resmi mengisyaratkan adanya jurang besar antara isi kesepakatan dan kenyataan politik serta militer di lapangan.
Dengan ketegangan yang belum sepenuhnya reda dan tekanan global yang terus meningkat, masa depan perjanjian damai antara Israel dan Hamas masih dibayangi ketidakpastian.
Dunia internasional kini menunggu langkah lanjutan dari para pihak untuk benar-benar mewujudkan perdamaian berkelanjutan di kawasan yang telah lama dilanda konflik ini. (xpr)