INBERITA.COM, Amerika Serikat kembali mengejutkan dunia ekonomi internasional dengan langkah dramatis: Presiden Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor produk asal China hingga 100-130 persen, berlaku mulai 1 November 2025.
Kebijakan ini ditemani pengendalian ekspor terhadap “semua perangkat lunak penting” per tanggal yang sama — sebuah reaksi terhadap langkah keras China memperketat ekspor mineral tanah jarang (rare earths). Mineral ini memiliki peran krusial dalam industri kendaraan listrik, semikonduktor, dan peralatan pertahanan.
China adalah pemasok dominan mineral tanah jarang global, dengan porsi sekitar 70 persen dari total impor dunia. Kebijakan ekspor Beijing tersebut dianggap Trump sebagai tindakan “sangat agresif dalam perdagangan internasional.”
Dalam unggahan di platform Truth Social, Trump menyebut, “China akan memberlakukan kontrol ekspor dalam skala besar terhadap hampir semua produk mereka, bahkan beberapa yang bukan hasil produksi mereka sendiri.”
Ia menilai kebijakan ini sebagai sesuatu yang “belum pernah terjadi dalam sejarah perdagangan internasional” dan menyebutnya sebagai “aib moral dalam hubungan antarnegara.”
Maka dari itu, Trump menyatakan bahwa AS akan memotong tarif impor China menjadi total 100 persen, di atas tarif 30 persen yang sudah berlaku saat ini.
Menurut data dari Wells Fargo Economics dan analis Federal Reserve Bank of New York, tarif efektif atas impor China ke AS sudah berada di kisaran 40 persen.
Sebagai perbandingan, tarif untuk produk baja dan aluminium naik menjadi 50 persen, sementara barang-barang konsumsi dikenai tarif sekitar 7,5 persen.
Kebijakan baru AS muncul di tengah serangkaian langkah China yang sebelumnya diumumkan: mulai 1 Desember 2025, setiap entitas asing diwajibkan memiliki izin ekspor untuk produk yang mengandung lebih dari 0,1 persen mineral tanah jarang asal China — atau produk yang menggunakan teknologi ekstraksi dan pemurnian dari negara tersebut.
Trump juga menyiratkan bahwa pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di ajang APEC di Korea Selatan bisa dibatalkan. Selain itu, ia menyinggung kemungkinan pembatasan ekspor suku cadang pesawat Boeing ke China.
“Kami memiliki banyak hal, termasuk pesawat. Mereka (China) memiliki banyak pesawat Boeing dan membutuhkan suku cadang, serta hal-hal lain yang terkait,” ujar Trump di Gedung Putih.
Data dari perusahaan analitik Cirium menunjukkan bahwa maskapai di China saat ini mengoperasikan 1.855 unit pesawat Boeing, dan telah memesan tambahan 222 unit, sebagian besar model 737.
Dampak dari pengumuman Trump tersebut langsung terasa di pasar keuangan global: indeks S&P 500 terpukul, menyusut sekitar 2 persen, sementara investor mencari perlindungan di aset safe haven seperti emas dan obligasi pemerintah AS.
China merespons balik dengan mengenakan biaya pelabuhan tambahan terhadap kapal-kapal milik atau terkait AS mulai 14 Oktober 2025.
Kementerian Transportasi China menyatakan bahwa kebijakan tersebut adalah balasan atas langkah sepihak AS yang juga berniat menerapkan tarif pelabuhan terhadap kapal-kapal China.
Biaya tersebut akan diterapkan kepada kapal yang dimiliki, dioperasikan, dibangun, atau berbendera AS, serta perusahaan dengan kepemilikan minimal 25 persen saham dari dana investasi asal AS.
“Langkah ini menjadi bagian dari respons terhadap kebijakan sepihak Amerika Serikat,” demikian pernyataan resmi kementerian.
Menteri Transportasi China memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak luas terhadap banyak perusahaan pelayaran publik yang terdaftar di bursa AS.
Beberapa perusahaan yang kemungkinan terdampak adalah Matson, American President Lines (milik CMA-CGM), dan Zim asal Israel. Zim misalnya, disebut memiliki lebih dari 25 persen saham yang dikendalikan entitas AS.
Lebih jauh, kapal yang dibangun di China atau dioperasikan oleh entitas China juga akan dikenai tarif di pelabuhan pertama AS — kemungkinan menimbulkan “beban ganda” bagi kapal tertentu.
Dalam responsnya, Matson menyatakan akan tunduk pada kebijakan baru China tanpa mengubah jadwal layanan. Beberapa operator lainnya belum memberikan respons publik.
Analisis dari broker kapal Fearnleys menunjukkan bahwa sekitar 10 persen armada very large crude carrier dan 13 persen armada Suezmax, Aframax, dan LR2 akan terimbas kebijakan China.
Data Vortexa juga memperkirakan bahwa 43 kapal super tanker pengangkut gas petroleum cair (sekitar 10 persen armada global) akan terkena dampak kebijakan ini.
Menurut Samantha Hartke, Kepala Analisis Amerika di Vortexa, “Dampaknya cukup luas dalam skala global.”
China menetapkan biaya tetap sebesar US$50 per tonase bersih per pelayaran menuju AS untuk kapal milik atau dioperasikan entitas China.
Operator milik China, seperti COSCO dan armadanya (termasuk OOCL), diperkirakan menghadapi beban biaya besar — potensi kerugian bisa mencapai US$2 miliar (sekitar Rp33 triliun) pada 2026. COSCO belum memberikan tanggapan resmi atas kebijakan tersebut.
Aksi timbal balik ini menandai eskalasi baru dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia.
Hubungan dagang AS-China sempat menunjukkan mereda di awal tahun 2025, namun sejak September ketegangan kembali meningkat dan kini merambah sektor-sektor strategis seperti teknologi, pertahanan, energi, dan maritim.
Dengan perang tarif dan balasan pelabuhan ini, dunia menyaksikan bahwa konflik antara AS dan China bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga pertarungan geopolitik yang memengaruhi rantai pasokan global, perdagangan teknologi tinggi, dan jalur maritim kritis.
Bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor atau impor dari kedua kekuatan ini, tekanan akan terasa di sektor industri dan perdagangan.
Indonesia, sebagai negara dengan industri elektronik dan manufaktur, serta negara pengguna barang impor dan ekspor, gejolak perang dagang ini perlu dicermati sebagai risiko sekaligus peluang dalam pergeseran dinamika global. (xpr)