Festival Anak Desa ke-5 ‘Nandur Rasa’ di Bendungan Slinga Purbalingga: Pemuda Desa Bangkitkan Budaya dan Ekonomi Lokal

Fad 1Fad 1
Penampilan Salah Satu Sanggar Tari Budaya Dalam Festival Anak Desa

INBERITA.COM, PURBALINGGA – Festival Anak Desa ke-5 dengan tema “Nandur Rasa” sukses digelar selama tiga hari berturut-turut, mulai Jumat hingga Minggu, 10–12 Oktober 2025.

Bertempat di kawasan wisata Bendungan Slinga Park, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, acara tahunan ini kembali mencuri perhatian publik, khususnya masyarakat desa dan para pelaku seni budaya lokal.

Festival ini digelar dengan semangat gotong royong dan kolaborasi lintas komunitas.

Ketua Panitia, Saeful Azis, menegaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan tahun ini tidak lepas dari keterlibatan aktif pemuda dari berbagai desa di sekitar wilayah Kaligondang.

“Acara ini kami gelar selama tiga hari di kompleks Bendungan Slinga Park. Dukungan dan antusiasme masyarakat luar biasa,” ujar Azis.

Menurutnya, Festival Anak Desa bukan hanya perayaan seni semata, melainkan gerakan kultural yang bertujuan menanamkan kembali nilai-nilai kebersamaan, semangat sosial, dan pelestarian budaya yang kian tergerus di tengah masyarakat desa.

“Kami berharap festival ini menjadi wadah bagi para penggiat seni dan budayawan untuk terus memperkenalkan budaya lokal yang mulai punah. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang promosi bagi pelaku UMKM di sekitar wilayah desa,” jelasnya.

Deretan agenda seni dan edukasi mewarnai festival ini. Mulai dari pertunjukan Uyon-Uyon Karawitan, Abentrampil Karawitan, hingga pentas Loka Karya Gamelan.

Penampilan musisi lokal, workshop ecoponding, peluncuran buku “Selakambang”, penyerahan piagam Workshop Film Dokumenter, pertunjukan Wayang Kleang, Senam Kalcer, Workshop Bros Tembaga, hingga kegiatan Desa Menari turut menjadi bagian dari festival yang penuh warna ini.

“Para pengisi acara berasal dari pelajar tingkat SD hingga SMA yang berkolaborasi dengan pegiat seni di Kabupaten Purbalingga,” terang Azis.

Keterlibatan generasi muda dalam Festival Anak Desa menjadi poin penting yang diapresiasi banyak pihak.

Salah satunya datang dari Kepala Bidang Pariwisata Kabupaten Purbalingga, Sumarsono, yang menilai penyelenggaraan acara ini sebagai cerminan kreativitas dan kemandirian pemuda di wilayah Kaligondang.

“Gebrakan para pemuda di wilayah Kaligondang ini sangat keren. Mereka mampu menggelar festival yang menghadirkan pelaku seni, komunitas budaya, kuliner lokal, dan ekonomi kreatif tanpa bergantung pada pemerintah,” ucapnya kagum.

Festival Anak Desa telah berlangsung sejak tahun 2020. Gelaran pertamanya diadakan di Desa Pagerandong, kemudian kembali digelar di desa yang sama pada 2022.

Lokasi festival kemudian berpindah ke Desa Arenan pada 2023, dilanjutkan ke Umah Wayang Selakambang pada 2024, dan tahun ini Desa Slinga menjadi tuan rumah kelima.

Azis menjelaskan bahwa pemilihan lokasi yang berbeda setiap tahun bukan tanpa alasan. Perpindahan tempat bertujuan untuk menyebarkan dampak kegiatan secara lebih luas, sekaligus menggali potensi kultural yang dimiliki masing-masing desa.

“Setiap tahun festival ini berpindah lokasi. Pertama dan kedua (2020 dan 2022) di Desa Pagerandong, ketiga di Desa Arenan, keempat di Umah Wayang (Selakambang), dan ini yang kelima di lokasi Bendungan Slinga,” jelasnya.

Secara terpisah, Lihun —penggagas awal Festival Anak Desa dan pendiri Umah Suwung Kaligondang— mengungkapkan bahwa setiap tahun penyelenggaraan festival mengalami perkembangan dari sisi konten, tema, hingga teknis pelaksanaan.

Namun, ia tidak menampik bahwa tantangan terbesar justru terletak pada soal dana dan tenaga kerja.

“Kegiatan ini bukan saja persoalan dana yang memaksa harus berkerut dahi, tapi juga soal tenaga.

Maka kesempatan ini panitia mencoba menggali relawan, volunteer yang bisa diajak meng-handle beberapa pekerjaan. Alhamdulillah, yang mendaftar justru di luar ekspektasi. Bahkan ada beberapa volunteer yang tidak kebagian job,” ujar Lihun.

Antusiasme relawan dari luar daerah menunjukkan bahwa Festival Anak Desa kini tak hanya menjadi milik satu wilayah, melainkan telah berkembang menjadi ruang kolaborasi lintas komunitas yang melampaui batas administratif desa.

Fenomena ini menjadi indikator kuat bahwa kesadaran budaya dan semangat sosial di kalangan generasi muda masih hidup dan terus berkembang.

Dengan kemasan yang terus diperbarui dan partisipasi yang semakin luas, Festival Anak Desa tak hanya menjadi ruang ekspresi budaya, tetapi juga wahana pendidikan sosial yang mampu menyatukan beragam unsur masyarakat dalam satu panggung kebersamaan.

Tantangannya ke depan adalah menjaga semangat ini tetap menyala, bukan hanya sebagai agenda tahunan, tapi sebagai gerakan budaya yang konsisten dan berkelanjutan di tingkat akar rumput.

Di tengah derasnya arus digital dan homogenisasi budaya, Festival Anak Desa menjadi contoh nyata bahwa akar tradisi dan nilai lokal masih mampu tumbuh, bertahan, dan bertransformasi lewat tangan-tangan muda yang bekerja dengan hati dan dedikasi. (mms)