Eks Dirut Pertamina Patra Niaga Didakwa Rugikan Negara Rp258 Triliun dalam Kasus Korupsi Minyak Mentah

Kasus tata minyak 1Kasus tata minyak 1
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan merugikan negara dengan nilai mencapai Rp285 triliun.

INBERITA.COM, Jakarta — Mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp258,12 triliun dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di tubuh PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018 hingga 2023.

Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (9/10).

Selain Riva, turut didakwa tiga terdakwa lainnya, yakni Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; serta VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.

Keempatnya diduga bersama-sama menyebabkan kerugian keuangan negara dengan nilai total mencapai Rp285,18 triliun.

Jaksa menjelaskan bahwa terdapat dua perbuatan melawan hukum dalam kasus ini, yaitu terkait impor kilang atau bahan bakar minyak (BBM) serta penjualan BBM jenis solar non-subsidi.

Kedua skema tersebut disebut menjadi pintu masuk praktik korupsi yang melibatkan para terdakwa.

Dalam dakwaan, Riva Siahaan disebut menyetujui usulan Maya Kusmaya terkait pelelangan khusus Ron 90 dan Ron 92 untuk periode H1 2023.

Dalam proses tersebut, perusahaan BP Singapore Pte. Ltd. dan Sinochem International Oil Pte. Ltd. disinyalir mendapatkan perlakuan istimewa oleh Edward Corne.

Edward disebut jaksa telah membocorkan informasi rahasia atau alpha project kepada BP Singapore dan Sinochem.

Ia juga memberikan kelonggaran waktu kepada dua perusahaan tersebut meskipun tenggat pengajuan penawaran telah berakhir.

Tindakan ini, menurut jaksa, tidak hanya melanggar prinsip tata kelola pengadaan yang sehat, namun juga merugikan negara dalam skala besar.

Tak hanya itu, ketika menjabat sebagai Direktur Pemasaran PT Pertamina Patra Niaga, Riva juga mengusulkan agar BP Singapore dan Sinochem ditetapkan sebagai calon pemenang lelang, memperkuat dugaan adanya keberpihakan dalam proses pengadaan tersebut.

Sementara dalam kasus penjualan solar non-subsidi, Riva Siahaan kembali disebut menyetujui usulan harga jual kepada konsumen industri tanpa mempertimbangkan nilai jual terendah (bottom price) dan tingkat profitabilitas.

Padahal, pedoman pengelolaan pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga secara tegas mengatur aspek tersebut.

Jaksa memaparkan bahwa Riva telah menandatangani perjanjian jual beli solar atau biosolar dengan harga yang berada di bawah harga pokok penjualan (HPP), bahkan lebih rendah dari harga dasar solar bersubsidi.

“Yang menyebabkan PT PPN menjual solar/biosolar lebih rendah dari harga jual terendah, bahkan di bawah harga pokok penjualan dan harga dasar solar bersubsidi, yang pada akhirnya memberikan kerugian PT PPN,” ujar jaksa di persidangan.

Jaksa juga menyoroti kegagalan Riva Siahaan dalam menyusun dan menetapkan pedoman negosiasi harga sesuai Surat Keputusan Direktur Utama Nomor Kpts-034/PNA000000/2022-S0 tanggal 10 Oktober 2022, saat ia menjabat sebagai Direktur Pemasaran.

Secara rinci, jaksa menyebutkan total kerugian negara mencapai Rp285,18 triliun, dengan rincian sebagai berikut: kerugian dalam pengadaan impor produk kilang atau BBM sebesar USD 5.740.532,61, serta kerugian dari penjualan solar non-subsidi selama 2021 hingga 2023 sebesar Rp2.544.277.386.935.

Angka tersebut dikonversi menjadi total kerugian keuangan negara sebesar USD 2.732.816.820,63 dan Rp25.439.881.674.368,30.

Di luar kerugian keuangan negara, nilai kerugian terhadap perekonomian negara akibat praktik korupsi ini diperkirakan mencapai Rp171.997.835.294.293,00.

Tak berhenti di sana, jaksa juga membeberkan adanya keuntungan ilegal yang diperoleh dari selisih harga perolehan impor BBM melebihi kuota, dibandingkan dengan harga perolehan minyak mentah dari dalam negeri. Nilai keuntungan tidak sah ini disebut mencapai USD 2.617.683.340,41.

Dengan temuan tersebut, jaksa menyimpulkan bahwa para terdakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dalam pengelolaan impor kilang dan penjualan BBM non-subsidi, yang tidak hanya merugikan keuangan negara dalam jumlah besar, tetapi juga mengacaukan struktur harga dan distribusi energi nasional.

Persidangan atas kasus dugaan korupsi ini masih akan berlanjut, dan menjadi sorotan publik mengingat besarnya nilai kerugian serta keterlibatan pejabat tinggi di lingkungan BUMN energi strategis seperti Pertamina. (mms)