INBERITA.COM, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menepis anggapan bahwa harga internet tetap (fixed line) di Indonesia merupakan yang paling mahal di kawasan Asia Tenggara.
Bantahan ini disampaikan menyusul laporan We Are Social yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan biaya langganan internet tetap tertinggi di ASEAN, yakni sebesar US$0,41 atau sekitar Rp6.500 per megabit per detik (Mbps).
Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, mengatakan bahwa kisaran harga internet tetap yang ditawarkan para anggota ATSI seperti IndiHome, XL Home, dan Hi-Fi, sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan yang tercantum dalam laporan tersebut.
“Anggota ATSI kan punya IndiHome, XL Home, Hi-Fi gitu ya, itu harganya kisarannya tuh kecil banget. Rp1.000 perak sampai Rp4.000 perak per Mbps,” jelas Marwan saat dihubungi, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, perhitungan harga internet tidak bisa disamaratakan, sebab tergantung pada kecepatan internet (speed) dan jenis paket yang dipilih oleh pelanggan.
“Semakin speed-nya tinggi, harga per Mbps-nya akan semakin murah. Tapi kalau speed-nya rendah, harga per Mbps-nya bisa sampai Rp4.000 perak. Itu berarti sekitar 24 sen dolar,” tambahnya.
Marwan juga menyebut bahwa rata-rata harga nasional bisa terlihat lebih tinggi karena banyaknya penyedia internet di wilayah pedesaan yang menawarkan layanan dengan harga murah tetapi kecepatan rendah.
Faktor inilah, menurutnya, yang turut mengerek rata-rata biaya internet secara nasional.
“Problem kita adalah karena penyedia internet yang dijual murah padahal speed-nya rendah. Itu yang menyebabkan naik harganya. Tapi kalau di anggota ATSI, kisarannya itu antara Rp1.000–Rp4.000 per Mbps, tergantung produk dan kecepatannya,” ujarnya.
Dalam laporan We Are Social, Indonesia tercatat memiliki harga internet tetap yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Filipina (US$0,14 per Mbps), Malaysia (US$0,09 per Mbps), Vietnam (US$0,04 per Mbps), Singapura (US$0,03 per Mbps), dan Thailand (US$0,02 per Mbps).
Namun, menurut ATSI, perbandingan tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Marwan menjelaskan bahwa struktur pasar dan biaya distribusi yang tinggi menjadi tantangan utama dalam penyediaan layanan internet tetap di Indonesia.
Terutama di wilayah yang sulit dijangkau jaringan serat optik, di mana penyedia layanan harus menggunakan internet satelit yang memiliki biaya investasi besar.
Untuk wilayah-wilayah seperti itu, pelaku usaha harus mengandalkan teknologi satelit GEO yang secara infrastruktur menuntut biaya tinggi.
Misalnya, layanan internet satelit Ubiqu milik PSN dibanderol dengan harga Rp10 juta per tahun untuk kuota 100 GB (FUP), sedangkan Mangosky milik Telkom memasang tarif Rp11,9 juta per tahun untuk layanan internet dengan kecepatan hingga 6 Mbps tanpa batas (unlimited).
Biaya tinggi pada layanan satelit tersebut menurut Marwan juga turut memengaruhi rata-rata harga internet tetap secara nasional, meski penggunaannya terbatas di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau infrastruktur fiber optic.
ATSI menilai, untuk menekan harga internet agar lebih kompetitif di seluruh wilayah Indonesia, dukungan pemerintah dari sisi kebijakan dan regulasi sangat dibutuhkan.
Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah penyederhanaan proses perizinan dan penurunan biaya regulasi agar penggelaran jaringan bisa lebih cepat dan murah.
“Kalau dari sisi operator seperti di ATSI itu, regulatory charges harus murah. Yang kedua, kemudahan dalam menggelar fiber optic. Izin-izin di daerah-daerah harus disederhanakan dan biayanya dipermurah. Kemudian penggelaran fiber harus lebih dimudahkan,” jelas Marwan.
Menurutnya, ketika infrastruktur bisa digelar dengan efisien dan biaya distribusi bisa ditekan, maka operator pun akan mampu menawarkan harga layanan yang lebih terjangkau tanpa harus mengorbankan kualitas jaringan.
Hal ini penting mengingat internet telah menjadi kebutuhan utama masyarakat, baik untuk pendidikan, bisnis, hingga layanan publik.
Meski tantangan geografis Indonesia cukup kompleks, terutama karena bentuk negara kepulauan yang memerlukan investasi besar dalam penyambungan jaringan antarwilayah, ATSI tetap optimistis bahwa melalui kolaborasi antara pelaku industri dan pemerintah, pemerataan akses internet dengan harga kompetitif bisa tercapai dalam waktu dekat.
Dengan kisaran harga layanan dari anggota ATSI yang berada pada rentang Rp1.000 hingga Rp4.000 per Mbps, asosiasi ini menegaskan bahwa biaya internet di Indonesia sesungguhnya tidak setinggi yang disebutkan dalam laporan We Are Social.
Penilaian sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan kecepatan, cakupan wilayah, dan struktur harga dari berbagai jenis penyedia layanan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Dalam konteks pengembangan ekonomi digital dan pemerataan akses informasi, isu mengenai harga internet tetap bukan hanya soal nominal, tetapi juga mencakup efektivitas regulasi, investasi infrastruktur, dan kemudahan bagi operator untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Karena itu, penyusunan kebijakan harus memperhitungkan faktor-faktor tersebut agar tercipta ekosistem digital yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan di seluruh Indonesia. (xpr)