Dulu Ramai Kini Sunyi, Grand Paragon dan Kisah Fenomena Makin Sepinya Mall di Jakarta

Grand paragon mall jakartaGrand paragon mall jakarta

INBERITA.COM, Kemegahan Grand Paragon Mall di Jalan Keamanan, Taman Sari, Jakarta Barat, kini terasa kontras dengan suasana di dalamnya.

Dibuka sejak 2010, pusat perbelanjaan ini pernah menjadi destinasi favorit warga untuk berbelanja, makan, dan menonton film.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kejayaan itu perlahan memudar. Dari luar, bangunan tampak megah dengan fasad modern dan deretan pohon palem yang rapi, tetapi begitu melangkah ke dalam, kesan yang muncul adalah sunyi dan lengang.

Toko-toko tutup, lorong luas tanpa aktivitas, dan suara langkah kaki menggema di antara eskalator yang tak lagi berfungsi.

Satu-satunya tanda kehidupan hanya terdengar dari mesin kasir di Grand Lucky Superstore, tenant utama yang masih bertahan.

Di tengah keheningan, supermarket ini menjadi tumpuan utama arus pengunjung, meski jumlahnya kini jauh dari masa jayanya.

Suasana mal yang monoton, pencahayaan yang minim, dan tidak adanya aktivitas hiburan menjadikan Grand Paragon tak lagi menarik bagi pengunjung yang kini lebih memilih berbelanja secara online.

Penurunan jumlah pengunjung bukan hal baru. Pandemi COVID-19 yang melanda sejak 2020 menjadi pukulan telak bagi operasional mal.

“Dulu sebelum Covid bisa sampai 1.000–2.000 orang per hari. Sekarang paling 200–300 orang,” ujar Budi (nama samaran), petugas keamanan yang sudah lama berjaga di sana.

Ia menyebut bahwa lantai satu, yang dihuni supermarket dan toko perabotan, masih memiliki aktivitas. Namun lantai-lantai atas nyaris mati, hanya diisi area karaoke dan bioskop yang mulai ramai menjelang sore.

Suasana mal sepi dari atas di mall grand paragon jalan gajah mada jakarta

Fenomena ini dirasakan pula oleh Alfan (26), seorang pengunjung yang mengaku jarang kembali ke mal tersebut.

“Kalau belanja online lebih praktis. Mal-nya juga sepi, kurang nyaman buat jalan-jalan,” kata Alfan.

Ia menilai, Grand Paragon kurang menawarkan pengalaman yang menarik seperti mal lain yang kini banyak menyediakan spot foto, acara komunitas, dan berbagai event hiburan.

Meski demikian, masih ada pedagang yang bertahan di tengah keterbatasan. Jatman (25), karyawan toko pakaian olahraga yang telah bekerja di sana selama lima tahun, menyebut omzet toko kini tinggal setengah dibandingkan sebelum pandemi.

“Dulu omzet kotor bisa di atas Rp50 juta per bulan, sekarang paling Rp25–30 juta,” ungkapnya.

Ia mengatakan sebagian besar pelanggan yang tersisa hanyalah pelanggan lama atau tamu hotel yang berada di area kompleks Paragon.

Harga sewa pun ikut turun dari Rp20 juta menjadi Rp12 juta per bulan, namun tetap dirasa berat oleh pedagang karena minimnya pengunjung.

“Dulu sewanya mahal tapi rame, sekarang sewa turun tapi pengunjung juga enggak ada. Jadi sama aja berat,” katanya.

Jatman menyebut bahwa Grand Lucky menjadi satu-satunya penyelamat sisa pengunjung yang masih datang.

“Kalau enggak ada Grand Lucky, udah mati total,” lanjutnya.

Syifa (17), yang berjualan makanan ringan di salah satu kios kuliner, merasakan hal serupa.

“Sehari paling cuma lima orang yang beli. Kadang kayak jualan di mal pribadi,” keluhnya.

Meski hasil tidak seberapa, Syifa memilih bertahan karena merasa bersyukur masih bisa bekerja.

“Kadang sedih lihat tempat ini sepi, tapi ya yang penting masih ada kerjaan,” ujarnya.

Pergeseran pola konsumsi masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku usaha di Grand Paragon Mall. Jatman menyebut bahwa banyak pengunjung datang hanya untuk melihat-lihat lalu membandingkan harga dengan toko online.

“Orang datang cuma lihat-lihat, bandingin harga online, terus nggak beli,” katanya.

Menurutnya, toko tempatnya bekerja pernah mencoba berjualan lewat marketplace, namun hasilnya tidak signifikan.

“Bos sempat coba jual di marketplace, tapi enggak jalan. Orang lebih percaya toko online besar,” ungkapnya.

Selain itu, stagnasi tenant dan minimnya pembaruan juga menjadi penyebab utama turunnya minat pengunjung. Banyak toko kosong tidak segera diisi kembali, membuat suasana mal kian suram.

Suasana lorong mal sepi di mall grand paragon jalan gajah mada jakarta

Arumy (25), pegawai swasta yang sesekali mengunjungi Paragon, menyebut daya tarik mal ini jauh tertinggal dibandingkan pusat perbelanjaan lain di Jakarta Barat.

“Dulu banyak restoran, sekarang tinggal supermarket sama bioskop. Orang jadi malas datang,” ujarnya.

Ia juga menyoroti kurangnya event dan promosi yang membuat suasana mal semakin membosankan.

“Kalau mal lain banyak event dan promo, Paragon enggak ada kegiatan,” katanya.

Kini, Grand Paragon Mall tampak hidup hanya di area Grand Lucky. Di luar itu, lorong-lorongnya kembali hening, seolah terjebak di masa lalu.

Meski begitu, para pekerja dan pedagang yang masih bertahan tidak menyerah. Mereka tetap membuka toko setiap hari dari pukul 11.00 hingga 21.00, berharap perubahan akan datang suatu saat nanti.

“Kalau dikelola lebih modern, mungkin bisa ramai lagi. Tempatnya bagus, strategis,” kata Arumy memberi harapan.

Budi, sang petugas keamanan, juga mengungkapkan keprihatinannya.

“Sayang banget tempat sebagus ini kalau dibiarkan,” ujarnya.

Grand Paragon yang dulu dikenal sebagai tempat favorit warga untuk makan malam dan menonton film, kini menjadi ruang sepi yang menyimpan cerita.

“Mungkin bisa dibilang kayak privat mall,” ucap Alfan, mencoba tersenyum di tengah suasana yang kian sunyi.

Kondisi Grand Paragon Mall menjadi cerminan bagaimana perubahan perilaku konsumen dan kurangnya inovasi bisa membuat sebuah pusat perbelanjaan megah kehilangan daya tarik.

Namun, di balik keheningan itu, masih ada mereka yang setia menjaga denyut kehidupan di setiap sudut lorongnya, berharap Paragon suatu hari bisa bangkit kembali. (xpr)